Howard D. Schultz: Dari Anak Sopir Truk hingga CEO Starbucks

Posted: 13 Aug 2025from: EditorLast updated : 13 Aug 2025

Kalau kita mampir ke Starbucks hari ini, mungkin yang kita pikirkan cuma aroma kopi yang khas, desain tempat yang cozy, dan barista yang ramah. Tapi di balik semua itu, ada sosok luar biasa yang membangun Starbucks hingga menjadi salah satu jaringan kedai kopi terbesar  — Howard D. Schultz.

Seorang anak sopir truk yang masa kecilnya penuh tantangan, tapi berhasil membalikkan nasib dan membawa Starbucks ke puncak kesuksesan dunia.

 



Masa Kecil yang Penuh Perjuangan


Howard Schultz lahir pada 19 Juli 1953 di Brooklyn, New York. Masa kecilnya dihabiskan di kompleks perumahan bersubsidi untuk keluarga berpenghasilan rendah. Kondisi keluarga Schultz makin berat ketika ayahnya mengalami kecelakaan kerja, dan mereka tidak punya asuransi kesehatan. Bayangkan, untuk biaya pengobatan saja keluarganya kesulitan.

Ayah Schultz sendiri adalah veteran perang yang tidak menamatkan sekolah menengah, sehingga pekerjaannya pun serabutan — mulai dari sopir truk, buruh pabrik, kurir, hingga sopir taksi.




Jalan Menuju Pendidikan Tinggi


Meski hidup dalam keterbatasan, Schultz punya bakat di bidang olahraga. Ia jago bermain basket dan sepak bola, sampai-sampai mendapat beasiswa dari Northern Michigan University. Di sana, ia berhasil meraih gelar Sarjana Komunikasi pada tahun 1975. Bagi Schultz, beasiswa ini adalah pintu keluar dari lingkaran kemiskinan yang membelit keluarganya.




Merintis Karier dari Nol


Schultz sudah bekerja sejak usia 12 tahun — jadi loper koran, penjaga toko, apa saja demi membantu keluarga. Setelah lulus kuliah, ia bekerja di sebuah pondok ski selama setahun, lalu pindah ke New York sebagai salesman di perusahaan Xerox.

Tak lama, ia direkrut oleh perusahaan peralatan dapur PAI Partners, dan menjadi General Manager di anak perusahaannya, Hammarplast, yang menjual mesin pembuat kopi. Dan inilah awal mula takdir membawanya bertemu Starbucks.




Pertemuan Pertama dengan Starbucks


Saat itu, Starbucks hanyalah sebuah toko kecil di Seattle yang menjual biji kopi. Didirikan oleh Jerry Baldwin dan Gordon Bowker, toko ini punya semangat besar dalam menyajikan kopi berkualitas. Schultz yang mengunjungi toko tersebut langsung melihat potensi besar yang dimilikinya.

 

Pada 1982, Schultz resmi bergabung dengan Starbucks sebagai direktur operasi dan marketing. Tak lama setelah itu, ia pergi ke Italia dan terpukau dengan budaya kedai kopi di sana — tempat orang-orang berkumpul, ngobrol, dan menikmati kopi. Schultz pun ingin membawa konsep ini ke Starbucks.

 

Sayangnya, idenya ditolak oleh para pendiri dengan alasan mereka sedang terjerat hutang dan tak punya modal. Schultz pun keluar dan mendirikan kedai kopi sendiri bernama Il Giornale.




Mengambil Alih dan Membesarkan Starbucks


Dua tahun kemudian, Schultz membeli Starbucks dan menggabungkannya dengan Il Giornale. Sejak saat itu, ia memimpin Starbucks menjadi jaringan kedai kopi terbesar di dunia dengan lebih dari 35 ribu gerai di seluruh dunia.


Bagi Schultz, membangun Starbucks bukan sekadar soal bisnis, tapi juga menciptakan perusahaan yang punya hati nurani. Ia pernah berkata:



“Saya ingin membangun perusahaan di mana ayah saya akan bangga bekerja di sana. Perusahaan yang menghormati saya, meskipun saya tidak mengenyam pendidikan.”

Dan nyatanya, ia berhasil mewujudkan itu.



Kalau kamu lagi nyeruput kopi di Starbucks, ingatlah bahwa di balik setiap cangkir ada cerita perjuangan, mimpi besar, dan keberanian untuk mengambil risiko.